Chapter 1 - LUNA (2)


Taman Heatburn ramai sekali pagi ini. Walaupun audisi belum dibuka, sudah banyak orang yang hendak mengantri untuk ikut audisi. Aku melihat jam tangan, untuk mengecek berapa lama lagi audisi akan dibuka.

Hmm, masih 2  jam lagi baru audisi akan dimulai. Berdandan tidak akan memakan waktu selama itu. Berganti baju di mobil yang sepertinya akan sedikit sulit, tapi tidak akan memakan waktu terlalu lama juga. Ah, tapi bagaimana aku bisa menyela dalam kerumunan itu? Sungguh, aku benci mengantri apalagi cuaca hari ini panas sekali,’ aku menggerutu dalam hati.

Aku pindah ke kursi belakang yang memang sudah kumodifikasi untuk menjadi studio pribadiku dan memulai dengan mengganti bajuku. Beruntung kaca mobilku gelap sehingga tidak terlihat dari luar. Aku memulai ritual berdandanku. Pertama aku memakai alas bedak kemudian menumpuknya dengan bedak tabur. Aku mulai merias mata dan bibirku senada dengan warna pakaianku. Dari kaca besar yang terpasang di jendela mobil belakang, kulihat ini adalah hasil dandanan tersempurna selama hidupku. Hari ini aku memakai gaun berbahan ringan berwarna hijau tua yang akan menonjolkan rambut ikal kemerahanku. Riasan wajahku kubuat senatural mungkin supaya tidak terlihat berlebihan di siang hari yang sangat panas ini. Tak lupa kuambil sepatu highheels kesayanganku yang berwarna hitam.

Sempurna. Hari ini adalah hari yang sangat penting. Hari yang akan menentukan debutku sebagai seorang artis,’ pikirku gembira. Aku pun keluar dari mobil untuk bergabung dengan kerumunan peserta audisi.

Ah, mereka semua terlihat biasa saja. Aku tidak menemukan hambatan sedikit pun untuk bisa lolos audisi,’ pikirku yakin. Aku berjalan dengan penuh percaya diri untuk menempatkan diriku lebih dekat dengan meja registrasi. Aku melihat jam, 15 menit lagi registrasi akan dibuka. Dengan tidak sabar aku memandang berkeliling. Lalu seketika pandanganku terfokus di satu titik, seorang laki-laki berbaju hitam dengan kalung rantai melingkar di lehernya. Entah mengapa ada suatu tarikan kasat mata yang cukup kuat membuatku ingin sekali berjalan menghampirinya. Tepat ketika aku hendak melangkahkan kakiku ke arahnya, petugas registrasi berjalan melewatiku. Segera aku urungkan niatku dan bergegas mendekat meja registrasi bersama ratusan peserta audisi lainnya.

Dalam beberapa detik saja, aku sudah tertinggal di belakang karena peserta audisi lainnya sungguh sangat brutal. ‘Malas banget kalo harus berdesakan dengan mereka. Bisa-bisa semua penampilanku kusut.’  Aku membiarkan mereka semua mengantri mendahuluiku, tapi aku mempunyai cara lain untuk bisa mendaftar tanpa mengantri. Senyum lebar mengembang di bibirku.

Aku berjalan mantap ke arah meja registrasi, melewati antrian panjang. Aku merasakan semua mata orang-orang di antrian memandang ke arahku, bahkan beberapa melotot curiga. Aku tetap cuek, meneruskan langkahku. Begitu aku sampai di depan meja registrasi, dimana terdapat petugas registrasi wanita sedang melayani pendaftaran seorang gadis mungil dengan dandanan heboh, aku mengulurkan kartu identitasku ke arah wanita petugas.

“Kau harus mengantri dulu, Nona,” kata petugas itu tegas. Orang-orang di antrian berhenti berbicara, menonton percakapanku dengan petugas wanita itu.

“Saya tidak punya banyak waktu untuk mengantri dan kau akan bersedia mendahulukanku untuk mendaftar,” ucapku yakin dengan suaraku yang menenangkan. Aku menatap mata pegawai itu dalam-dalam dan aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

“Baiklah, ini nomor audisi Anda, Nona. Semoga berhasil,” kata petugas itu dengan suara yang sedikit bergetar. Pandangannya masih kosong dan untuk terakhir kali aku menatap matanya lagi, berbisik, “Kau akan lupa semua ini, Nona, jangan khawatir.” Kemudian aku melayangkan pandanganku ke orang-orang di antrian, “dan begitu juga dengan kalian semua, Kawan.”

Lalu aku berjalan masuk tempat audisi dengan langkah riang, tidak menyadari ada sepasang mata yang mengamatiku  dengan seksama. Hari ini sungguh sempurna.

Comments