CHAPTER 1 - LUNA


Kriiiiiiiingg........ Suara alarm berbunyi nyaring mengganggu tidurku.

Ah, pagi sudah datang dan aku harus berangkat ke sekolah. Malas sekali. Mengapa harus ada hari Senin? Mengapa harus ada sekolah? Pada akhirnya pun aku tidak akan membutuhkan semua nilai itu setelah lulus. Bukankah untuk menjadi seorang model tidak memerlukan nilai ujian matematika, bahasa inggris, sains, dan semua pelajaran tolol itu? Ah, tapi bagaimanapun aku tetap terjebak dalam semua ketidakperluan itu dan harus mendapat nilai bagus supaya ayah dan ibu mau memberi uang saku,’ pikirku sambil menggeliat malas di tempat tidurku yang hangat.

“Luna! Ayo cepat bangun! Kau akan terlambat!” suara ibu yang nyaring menembus pintu kamarku. Dengan terpaksa, aku bangkit dari tempat tidur yang nyaman dan keluar kamar untuk ikut sarapan bersama. Aku melihat ibu sedang di dapur menyiapkan sarapan untuk kami. Senandung lirih sedikit terdengar dari mulutnya, tapi aku tidak tahu dia menyanyikan lagu apa. Aku hanya bisa melihat bibirnya yang mungil berkomat-kamit dan mengeluarkan nada. Kadang aku heran, bagaimana bisa mulut kecil seperti itu menghasilkan suara nyaring yang bahkan dari kamarku saja terdengar sangat nyaring. Padahal kamarku ada di lantai dua.

Sambil terheran-heran (yang hampir selalu kurasakan setiap pagi) aku duduk di kursi meja makan. Tidak lama kemudian ayah muncul dari balik pintu teras, menyusul ke meja makan. Di tangannya terlihat dia sedang memegang koran pagi.

“Anak laki-laki pengantar koran itu lagi-lagi melemparkan korannya tepat ke wajahku! Apa dia tidak melihat aku yang sebesar ini sedang menyiram bunga di halaman? Sungguh menyebalkan! Lain kali akan kukejar dia untuk kuberi pelajaran!” kata ayahku bersungut-sungut. Ibu hanya menanggapi kejengkelan ayah dengan senyum manisnya. Tidak lama kemudian, wajah ayah kembali tenang, seakan tidak pernah ada kejengkelan sebelumnya.

Yah, ayahku memang sedikit emosional. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya marah-marah, atau sedikitnya menggerutu. Tapi jika ada ibu bersamanya, ayah bisa lebih tenang. Aku juga tidak mengerti mengapa bisa begitu. Aku pikir siapapun akan merasa tenang jika berada di dekat ibu. Siapa yang sanggup marah-marah di depan tatapan ibu yang lembut dan senyumnya yang indah? Kurasa tidak ada yang akan sanggup.

Aku segera menghabiskan omelet lezat yang menjadi menu sarapan kami hari ini dan segelas susu cokelat kesukaanku. Kulihat ayah juga sedang asyik melahap omeletnya sambil membaca koran di tangan kirinya. Ibu masih bersenandung kecil sambil membereskan meja dapur. Sepertinya pagi ini semua orang sedang dalam suasana hati yang bagus.

Aku beranjak untuk mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Hari ini aku akan mengikuti casting film dan orangtuaku tidak tahu tentang semua ini. Pakaian dan sepatu ganti serta alat berdandanku sudah aku masukkan diam-diam ke mobil semalam. Jadi yang kubutuhkan saat ini hanya menyiapkan alasan untuk pulang terlambat hari ini dan memasang wajah tenang.

Sebelum turun untuk (pura-pura) berangkat sekolah, aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan jantungku yang berdegup kencang karena hendak berbohong kepada ayah dan ibu yang pada dasarnya hampir mustahil dibohongi, kecuali ketika suasana hati mereka sedang sangat bagus sekali. Kuhitung sampai sepuluh, setelah itu aku berjalan menuruni tangga.

“Ayah, Ibu....,” kataku pelan. Mereka berdua menoleh kepadaku.

“Oh, Luna, kau mau berangkat sekolah sekarang? Sepulang sekolah nanti cepatlah pulang, aku ingin kita makan malam bersama,” kata ayahku sambil kembali mengalihkan pandangannya ke koran pagi yang belum juga selesai dibacanya.

“Eh, Ayah, aku.. Kurasa kalian terpaksa makan malam berdua saja. Aku ada janji dengan seseorang..” jawabku lirih, khawatir mereka curiga. Seketika pandangan ayah kembali padaku dengan sorot mata curiga. Sedangkan ibu mulai menyipitkan matanya kepadaku, tatapannya menyelidik.

“Aku.. Aku ada janji kencan, Ayah. Dia mengajakku makan malam,” tambahku cepat-cepat. Kurasa alasan kencan akan masuk akal untuk degupan jantung sekeras ini. Dan kurasa aku benar begitu melihat tatapan ibu kembali melembut dan tidak curiga lagi.

“Baiklah, Sayang, tapi tentu saja kau jangan pulang terlalu malam. Kami akan menikmati makan malam kami berdua. Kau juga harus bersenang-senang. Oke?” jawab ibu gembira.

“Eh, baik, Bu. Kalau begitu aku berangkat sekolah sekarang. Daaaa, Ayah,” kataku sambil berlari cepat-cepat ke garasi sebelum ayah yang sepertinya masih curiga mempengaruhi ibu yang sudah percaya.

Beginilah kalau berbohong ketika sebenarnya tidak perlu berbohong,’ pikirku sambil mendesah pelan dan menyalakan mesin mobil sport merahku. Aku pun berangkat ke Taman Heatburn, lokasi casting perdanaku.

Comments