Prolog - DON

“Tuan Araun, istri Anda melahirkan bayi perempuan. Apakah Anda ingin menggendongnya sebentar sebelum dibawa ke ruang bayi?” tanya suster rumah sakit mengejutkan Don yang sedang terkantuk-kantuk di ruang tunggu operasi.

“Ya, tentu saja,” jawab Don Araun sambil bergegas berdiri, menerima sebuntal selimut berwarna merah yang diulurkan oleh suster.

Kecil sekali kau, Nak? Apa kau kekurangan makan selama dalam kandungan ibumu? Ah, kulihat kulit putihmu dan hidungmu yang mancung mirip dengan kulit dan hidungku, tapi rambutmu ikal kemerahan persis seperti ibumu. Begitu juga bibir mungilmu. Sayang sekali aku belum bisa melihat matamu,” pikir Don sambil menggendong putri pertamanya yang sedang tidur nyenyak. Sudah lama Don menantikan saat-saat ini, menggendong bayi yang telah dia tunggu kehadirannya selama lima tahun pernikahannya dengan istrinya.

“Tuan Araun, maaf, bayi Anda harus segera dibawa ke ruang bayi sekarang,” kata suster, tepat ketika pintu masuk ruang tunggu menjeblak terbuka.

“Suster, suster! Tolong, anak saya sedang gawat! Dia kehabisan darah akibat usaha pembunuhan! Tolong, selamatkan dia..” teriak seorang laki-laki berteriak panik meminta pertolongan sambil menggendong seorang gadis berlumuran darah. Kontan saja beberapa perawat rumah sakit yang sedang bertugas jaga di ruang UGD yang ada di sebelah ruang operasi bergegas ke arah laki-laki itu sambil membawa tempat tidur beroda lalu dengan tangkas memindahkan gadis itu dari gendongan ayahnya ke tempat tidur. Salah seorang perawat laki-laki berbicara pelan ke ayah gadis itu kemudian mengikuti perawat lainnya yang sedang mendorong tempat tidur beroda itu ke UGD.

Laki-laki itu terduduk lemas begitu melihat anaknya masuk ke ruang UGD untuk diselamatkan. Don tertegun bersama suster yang menggendong putrinya melihat kehebohan yang terjadi barusan. Pasti laki-laki itu sangat panik melihat putrinya terluka begitu parah. Sekejap dia bisa merasakan apa yang dirasakan laki-laki itu begitu dia membayangkan jika kejadian serupa menerpa putrinya. Segera dia mengusir pikiran-pikiran buruk yang tiba-tiba memasuki pikirannya. Lalu suara tangisan memecah keheningan. Putri kecilnya yang tadi tertidur dengan nyenyak tiba-tiba menangis keras sekali. Tangisannya terdengar sedih, seperti meratap. Atau itu hanya imajinasi Don saja?

“Tuan, kalau begitu sekarang saya bawa putri Anda ke ruang bayi. Silahkan jika Anda ingin menjenguk istri Anda. Beliau sudah dipindah ke ruang perawatan nomor 11. Sebaiknya Anda segera memutuskan nama untuk putri Anda supaya akta kelahiran bisa segera diurus,” kata suster itu lalu mengangguk pelan dan membawa bayinya yang masih menangis keras meninggalkan Don sendiri bersama laki-laki yang sedang bersedih.

Begitu suster itu menghilang di balik pintu yang menuju ruang bayi, pintu UGD membuka dan keluarlah beberapa perawat bersama seorang dokter wanita. Sontak laki-laki yang masih lemas itu berdiri dan bergegas mendatangi dokter.

“Bagaimana, Dok, keadaan putri saya? Dia selamat, kan?” tanyanya tidak sabar.

“Maafkan kami, Tuan. Putri Anda kehabisan terlalu banyak darah. Nyawanya sudah tidak bisa tertolong. Kami sudah melakukan apapun yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan putri Anda, tapi ternyata Tuhan berkata lain. Semoga Anda sekeluarga diberi kesabaran,” kata dokter sambil menepuk pundak laki-laki itu. Dia lalu pamit untuk bergegas ke ruang operasi di sebelahnya. Seketika raut pengharapan laki-laki itu hilang dan menangis histeris.

Don sudah tidak tega lagi melihat laki-laki itu menangis sedih meratapi kepergian anaknya, maka Don bergegas ke kamar tempat istrinya dirawat setelah melahirkan. Don berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi menuju kamar perawatan pasca melahirkan dan berhenti di depan pintu nomor 11. Dibukanya pintu itu dan dia melihat istrinya sedang tertidur lelap.

Apa dia kelelahan? Apa dia baik-baik saja?’ Sejuta pertanyaan muncul di kepalanya. Don menggenggam tangan istrinya dan dia terbangun. Sejenak dia pandangi wajah istrinya yang seperti memikirkan sesuatu, lalu seulas senyum terbentuk di bibirnya. Cantik sekali. Seketika  hatiku terasa ringan dan tenang.

Ya, dia baik-baik saja.

Comments