Chapter 2 - LUNA


Akhirnya datang juga hari ini,hari dimana hasil dari audisi minggu lalu akan diumumkan. Aku sangat tidak sabar menunggu hari ini sampai-sampai bangun pagi pun aku tidak perlu dibangunkan. Dengan semangat aku mengikat rambut panjangku tinggi ke atas kepala dan turun ke ruang makan untuk sarapan. Aku menuruni tangga sambil bersenandung riang. Lalu aku lihat ibu sedang memasak di dapur.

Aku menghampirinya dan mencium pipinya, “Selamat pagi, Bu! Ibu terlihat cantik sekali hari ini,” pujiku gembira.

Ibu memandangku tidak percaya. “Ada apa? Suatu kejadian langka kau bangun sepagi ini tanpa ibu perlu meneriakimu, apalagi dengan wajah gembira seperti itu,” kata ibu sambil menyipitkan mata curiga.

“Tidak ada apa-apa kok, Bu. Aku hanya sedang bersemangat hari ini,” jawabku mulai khawatir ibu curiga.

“Kau bohong. Kau tahu, ibu mungkin tidak bisa membaca pikiranmu, tapi ibu tahu apa yang sedang kau rasakan. Ada apa, Luna?” tanya ibu menyelidik.

“Tidak ada.”

“Lalu mengapa kau tiba-tiba khawatir? Padahal beberapa detik yang lalu kau sangat bersemangat?”

“Er, nanti ibu juga tahu. Tidak sekarang, aku akan menceritakan semua pada ibu, tapi nanti malam. Oke? Sekarang aku ingin sarapan, Bu, aku lapar sekali.”

Sesungguhnya aku masih ragu untuk menceritakan semua pada ibu dan ayah tentang keikutsertaanku dalam audisi minggu lalu. Tapi bagaimanapun, jika aku lolos audisi, mereka harus tahu, bukan? Aku tidak lolos pun, aku tetap harus bercerita pada mereka, karena aku sudah terlanjur janji pada ibu. Dan kurasa mereka akan tetap memarahiku. Setidaknya kalau aku lolos audisi, dimarahi ibu dan ayah rasanya akan ringan sekali dibandingkan dengan kebahagiaan yang akan kurasakan.

Aku segera menghabiskan segelas susu cokelat yang ibu buatkan untukku dan menonton ibuku menyajikan sepiring besar omelet pedas di meja makan. Aku pun cepat-cepat mengambil piring, roti dan sepotong besar omelet pedas buatan ibu yang lezat. Aku memakan sarapanku dengan riang, sampai akhirnya ayah memasuki ruang makan, dengan koran pagi di tangan kirinya dan sepucuk amplop berwarna krem di tangan kanan. Tidak seperti biasanya, ayah tidak mengomel tentang anak laki-laki pengantar koran. Tapi aku segera merasakan emosi kemarahan besar yang ditujukan padaku. Dan aku pun segera tahu, amplop krem itulah penyebabnya. Pengumuman audisiku.

“Er, Ayah, aku bisa menjelaskan semua ini..” kataku lirih, mencoba menenangkan ayah, sebelum kemarahannya meledak.

“Menjelaskan? Tidak ada yang perlu kau jelaskan, Nona! Bukankah selama ini kami sudah melarangmu mengikuti audisi semacam ini? Kami telah berkali-kali menolak keinginanmu untuk menjadi model, artis, atau apapun yang akan membuatmu menarik perhatian! Apa kau tidak pernah berpikir sesulit apa kami berbaur di dunia ini? Apa kau tidak paham bahwa ini semua kami lakukan hanya untuk melindungimu? Kau benar-benar...”

Ayah tidak bisa lagi berkata-kata. Aku ketakutan melihat wajahnya memerah karena kemarahan. Sekilas aku melihat bayang-bayang hitam di sudut ruangan, tapi bayangan itu tidak ada ketika aku menoleh ke arahnya. Lalu aku merasakan ketakutan yang amat sangat menyelimuti diriku. Ada apa ini? Aku menatap ayah masih terdiam kaku di tempatnya, lalu beralih memandang ibu yang sedang memasang wajah khawatir memandang ayah.

Beberapa menit ruangan hening, tidak ada yang berani bersuara, hingga ibu menyentuh lengan ayah dengan lembut dan memberi isyarat padaku untuk segera pergi dari hadapan ayah. Aku memutuskan untuk cepat-cepat berangkat sekolah. Berangkat sekolah pada hari-hari biasanya terasa sangat membosankan, tapi khusus untuk hari ini, aku berangkat sekolah tidak dengan perasaan bosan. Hidupku terasa hampa saat ini dan aku tidak ingin sendirian ada di dalam kehampaan ini. Seluruh sekolah harus merasakan hal yang sama.

Comments