Akhirnya datang juga hari ini,hari dimana hasil dari
audisi minggu lalu akan diumumkan. Aku sangat tidak sabar menunggu hari ini
sampai-sampai bangun pagi pun aku tidak perlu dibangunkan. Dengan semangat aku
mengikat rambut panjangku tinggi ke atas kepala dan turun ke ruang makan untuk
sarapan. Aku menuruni tangga sambil bersenandung riang. Lalu aku lihat ibu
sedang memasak di dapur.
Aku menghampirinya dan mencium pipinya, “Selamat pagi,
Bu! Ibu terlihat cantik sekali hari ini,” pujiku gembira.
Ibu memandangku tidak percaya. “Ada apa? Suatu
kejadian langka kau bangun sepagi ini tanpa ibu perlu meneriakimu, apalagi
dengan wajah gembira seperti itu,” kata ibu sambil menyipitkan mata curiga.
“Tidak ada apa-apa kok, Bu. Aku hanya sedang
bersemangat hari ini,” jawabku mulai khawatir ibu curiga.
“Kau bohong. Kau tahu, ibu mungkin tidak bisa membaca
pikiranmu, tapi ibu tahu apa yang sedang kau rasakan. Ada apa, Luna?” tanya ibu
menyelidik.
“Tidak ada.”
“Lalu mengapa kau tiba-tiba khawatir? Padahal beberapa
detik yang lalu kau sangat bersemangat?”
“Er, nanti ibu juga tahu. Tidak sekarang, aku akan
menceritakan semua pada ibu, tapi nanti malam. Oke? Sekarang aku ingin sarapan,
Bu, aku lapar sekali.”
Sesungguhnya aku masih ragu untuk menceritakan semua
pada ibu dan ayah tentang keikutsertaanku dalam audisi minggu lalu. Tapi
bagaimanapun, jika aku lolos audisi, mereka harus tahu, bukan? Aku tidak lolos
pun, aku tetap harus bercerita pada mereka, karena aku sudah terlanjur janji
pada ibu. Dan kurasa mereka akan tetap memarahiku. Setidaknya kalau aku lolos
audisi, dimarahi ibu dan ayah rasanya akan ringan sekali dibandingkan dengan
kebahagiaan yang akan kurasakan.
Aku segera menghabiskan segelas susu cokelat yang ibu
buatkan untukku dan menonton ibuku menyajikan sepiring besar omelet pedas di
meja makan. Aku pun cepat-cepat mengambil piring, roti dan sepotong besar
omelet pedas buatan ibu yang lezat. Aku memakan sarapanku dengan riang, sampai
akhirnya ayah memasuki ruang makan, dengan koran pagi di tangan kirinya dan
sepucuk amplop berwarna krem di tangan kanan. Tidak seperti biasanya, ayah
tidak mengomel tentang anak laki-laki pengantar koran. Tapi aku segera
merasakan emosi kemarahan besar yang ditujukan padaku. Dan aku pun segera tahu,
amplop krem itulah penyebabnya. Pengumuman audisiku.
“Er, Ayah, aku bisa menjelaskan semua ini..” kataku
lirih, mencoba menenangkan ayah, sebelum kemarahannya meledak.
“Menjelaskan? Tidak ada yang perlu kau jelaskan, Nona!
Bukankah selama ini kami sudah melarangmu mengikuti audisi semacam ini? Kami
telah berkali-kali menolak keinginanmu untuk menjadi model, artis, atau apapun
yang akan membuatmu menarik perhatian! Apa kau tidak pernah berpikir sesulit
apa kami berbaur di dunia ini? Apa kau tidak paham bahwa ini semua kami lakukan
hanya untuk melindungimu? Kau benar-benar...”
Ayah tidak bisa lagi berkata-kata. Aku ketakutan
melihat wajahnya memerah karena kemarahan. Sekilas aku melihat bayang-bayang
hitam di sudut ruangan, tapi bayangan itu tidak ada ketika aku menoleh ke
arahnya. Lalu aku merasakan ketakutan yang amat sangat menyelimuti diriku. Ada
apa ini? Aku menatap ayah masih terdiam kaku di tempatnya, lalu beralih memandang
ibu yang sedang memasang wajah khawatir memandang ayah.
Beberapa menit ruangan hening, tidak ada yang berani
bersuara, hingga ibu menyentuh lengan ayah dengan lembut dan memberi isyarat
padaku untuk segera pergi dari hadapan ayah. Aku memutuskan untuk cepat-cepat
berangkat sekolah. Berangkat sekolah pada hari-hari biasanya terasa sangat
membosankan, tapi khusus untuk hari ini, aku berangkat sekolah tidak dengan
perasaan bosan. Hidupku terasa hampa saat ini dan aku tidak ingin sendirian ada
di dalam kehampaan ini. Seluruh sekolah harus merasakan hal yang sama.
Comments
Post a Comment