Surat dari Masa Lalu – September 2007


PROLOG:
Sebelum membaca, perlu saya beritahu dulu, di bawah ini bukan hasil tulisan saya, tapi cukup menginspirasi saya selama ini dalam 'mengarahkan' pikiran saya. Mungkin juga bisa berguna bagi Anda, para pembaca. Tulisan ini sudah saya edit di sana-sini supaya bisa menjadi konsumsi umum. 


Beberapa tahun lalu, saat usiaku 17 tahun, aku pernah berdoa,
                “Kini aku memohon pada-Mu Tuhan, tolong aku supaya menjadi dewasa, bukan lagi bersenang-senang, melainkan mempertimbangkan masa depan. Belajar menjadi dewasa ternyata susah, harus bisa mengalah, tidak berat sebelah. Bukan ‘lari dari..’ melainkan belajar memecahkan masalah dan mau meminta maaf jika bersalah. Menjadi dewasa berarti jujur terhadap dunia, tidak berpura-pura, menyimak yang baik, mengabaikan yang tidak baik, dan memperbaiki yang buruk. Aku harus belajar melihat dua puluh tahun ke depan, apakah aku akna menjadi orang yang bertanggung jawab, mau berkorban, dan penuh pengabdian? Apakah aku mawas diri? Apakah kualitas kepribadian ada pada diri sendiri, mampu memberi, mau melayani? Bukannya meminta.. Tolonglah aku mempercayakan diri dan berpasrah bahwa Tuhan besertaku bertumbuh ke masa cerah. Dampingilah aku aku bertumbuh ke kedewasaan, matangkan diriku untuk berperilaku. Tolonglah aku saat membuat pilihan dan tolonglah aku berkembang agar aku pantas menjadi pilihan. Aku percaya seseorang telah Kau siapkan, Kau matangkan dan Kau dewasakan. Sebab itu, pada-Mu kupercayakan diri. Engkau punya maksud indah, sehingga hidup bukan kuhadapi seorang diri, melainkan bersama Engkau, Tuhan, teman hidup sejati.”

Dalam perjalanan hidup ini, seringkali kita merasa kecewa. Kecewa sekali. Sesuatu yang luput dari genggaman. Akhirnya angan ini lelah berandai-andai saja. Sungguh semua itu menghadirkan nelangsa di dalam jiwa manusia. Dan sungguh sangat beruntung andai dalam saat-saat terguncangnya jiwa masih ada setitik cahaya dalam kalbu.

Manusia diciptakan memiliki kehendak tetapi tidak setiap yang kita mau bisa tercapai. Dan tidak mudah menyadari bahwa apa yang bukan menjadi hak kita tidak perlu kita tangisi. Rejeki, jodoh, dan kematian, memang menjadi bagian dari diri kita selama hidup di dunia dan pasti akan Tuhan sampaikan. Tapi apa yang memang bukan milik kita, tidak akan bisa kita memilikinya, meski ia di dekat kita, menghampiri kita, meski kita mati-matian mengejarnya.

Terkadang, kita tidak sadar sedang mendikte Tuhan, bukannya meminta yang terbaik. ‘Pokoknya harus itu, Tuhan, harus dia.. Karena aku sangat mendambakan itu semua, blablabla...’ Seakan-akan kita lebih berkuasa dari-Nya, seakan kita yang menentukan segalanya, kita meminta dengan paksa. Dan akhirnya, kalaupun Tuhan memberikannya, maka tidak selalu itu yang terbaik. Bisa jadi Tuhan tidak mengulurkannya dengan kelembutan, melainkan melemparkan dengan marah karena niat kita terkotori. Setelah ini, harus benar-benar dipikirkan, karena seorang yang baik tidak hidup untuk dunia, namun menjadikan dunia untuk hidup yang sesungguhnya. Maka janganlah kita tangisi apa yang bukan milik kita.

Aku tuliskan kembali itu semua, sebagian pelajaran dan nasehat tentang perjalanan hidupku. Aku pernah nyaris melupakannya. Aku mencintai terlalu sangat hingga aku tidak menyadari, aku sungguh terbang terlalu tinggi karena itu jatuhnya pun sangat sakit. Aku juga terlalu cepat membuat piringnya penuh hingga aku terjatuh dari pinggirnya. Aku sempat berhenti meski sejenak, lalu aku berjalan lagi. Aku berjalan dengan luka yang masih melekat di tubuhku dan aku tidak punya pintu lagi untuk dibukakan.

Ada lima peraturan sederhana untuk hidup bahagia:
1.  Bebaskan dirimu dari kebencian
2.  Bebaskan pikiranmu dari kesusahan
3. Jangan hidup berlebihan
4.  Berilah lebih
5. Kurangilah harapan

Tiada seorang pun bisa kembali dari awal  dan memulainya lagi dengan memutar kembali waktu. Setiap orang bisa mulai saat ini dan melakukan akhir yang baru. Tuhan tidak menjanjikan hari-hari tanpa sakit, tertawa tanpa kesedihan, panas tanpa hujan. Tuhan menjanjikan kekuatan untuk hari ini, air mata untuk kebahagiaan dan terang dalam perjalanan.

Kekecewaan bagai ‘polisi tidur’, akan memperlambatmu sesaat tetapi selanjutnya kau akan menikmati jalan rata. Karenanya, janganlah berhenti terlalu lama, berjalanlah terus! Ketika kau kecewa tidak mendapatkan apa yang kau kehendaki, terimalah dan bergembiralah, karena Tuhan sedang menyiapkan yang lebih baik untuk dirimu.

Saat sesuatu terjadi padamu, baik atau buruk, pertimbangkanlah artinya. Suatu kejadian dalam kehidupan, mengajarimu bagaimana lebih sering tertawa dan menangis tidak terlalu keras.

-Anonim-

Comments