Hari-Hari yang Panjang - Cerita Kehamilanku Bagian Tiga


Buat yang belum baca kisah sebelumnya, bisa baca dulu bagian pertama di sini dan bagian kedua di sini, ya! 😊

Subchorionic hematoma. Dua kata yang menjadi top search di akun Google saya sejak pertama saya menjalani pemeriksaan USG. Apa penyebabnya, apa resikonya, bagaimana pengobatannya, dan segala informasi yang saya perlu tahu tentang gangguan pendarahan subkorionik tersebut. Bukan hanya untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, tapi saya merasa semakin saya kaya informasi tentang subchorionic hematoma, semakin saya bisa menerima dan berteman dengannya. Saya rasa hal tersebut penting untuk bisa membuat saya lebih rileks serta ikhlas menerima keberadaan gangguan kehamilan yang saya alami itu.

Dua minggu sejak pemeriksaan kehamilan yang pertama, saya dijadwalkan untuk kontrol kembali. Tidak hanya untuk memantau perkembangan pendarahan yang terjadi, tapi juga untuk memeriksa apakah janin berkembang dengan baik dan apakah detak jantung bayi normal. Tentu saja, saya dan suami harap-harap cemas menunggu jadwal kontrol tersebut. Segala doa kami panjatkan memohon yang terbaik untuk janin yang saya kandung.

Hingga akhirnya hari yang dinanti tiba. Pemeriksaan USG kali ini diwarnai dengan rasa khawatir sekaligus penuh harap. Dari pemeriksaan, terlihat bahwa janin berkembang dengan baik, detak jantungnya pun kuat, namun pendarahan subkorionik yang terjadi di dalam rahim pun semakin luas. Artinya, saya belum bisa bernapas lega dan harus tetap ekstra hati-hati.

Setelah kontrol kehamilan, saya tetap melakukan terapi dengan berjemur serta mengkonsumsi vitamin dan obat dari dokter. Hari-hari saya lalui dengan baik-baik saja, meski terkadang muncul flek yang menurut dokter hal tersebut masih normal dan tidak berbahaya. Saya selalu segera beristirahat dan rebahan ketika muncul flek untuk menjaganya tidak semakin parah. Hal ini terus berlangsung dan saya merasa kehamilan saya semakin kuat karena flek semakin jarang terjadi. Perasaan ini membuat saya lebih tenang dan santai menjalani kehamilan, hingga terjadilah sebuah insiden yang mengubah hari-hari saya menjadi terasa lebih panjang.

Hari itu hari Sabtu, kebetulan saya harus menghadiri acara keluarga di sebuah hotel di Jakarta Selatan. Acara keluarga tersebut dihadiri oleh hampir seluruh keluarga saya dengan banyak tamu undangan. Merasa kandungan saya telah kuat dan sehat, saya menghabiskan waktu dengan banyak berdiri dan berjalan. Posisi tersebut saya lakukan setidaknya selama tiga jam dan selebihnya saya banyak duduk dan sekali-sekali berjalan tidak terlalu jauh. Hingga akhirnya acara selesai, lalu saya dan suami kembali ke kamar hotel untuk istirahat siang sebelum malam harinya acara keluarga berlanjut lagi.

Saat istirahat siang itulah saya ke kamar mandi dan menemukan bahwa flek kembali muncul. Kali ini flek cukup banyak, bahkan bisa dibilang pendarahan ringan. Kekhawatiran kembali menyelimuti saya, namun saya sikapi dengan tidur siang saja karena mungkin saya kecapekan terlalu banyak berdiri dan berjalan. Namun, hingga sore pendarahan ringan masih terus terjadi. Saya pun terpaksa memberitakan hal ini pada suami dan keluarga terlepas dari keinginan saya untuk menyimpannya sendiri karena takut membuat khawatir. Mengetahui hal ini, keluarga semakin khawatir dan meminta saya untuk tidak bangun dari tempat tidur kecuali untuk ke kamar mandi.

Akibat pendarahan ini pula, sepulang dari acara keluarga saya diminta untuk pulang ke rumah mertua karena khawatir jika saya harus sendirian di apartemen sementara suami kerja. Setidaknya, jika di rumah mertua saya ada yang menemani di pagi hari, dan sore hari pun bunda, ibu mertua saya, pasti sudah di rumah. Di rumah mertua, saya menghabiskan waktu full untuk istirahat, meski saat itu saya masih sedikit jalan karena merasa kondisi sudah jauh membaik. Pendarahan telah berhenti dan perut saya pun tidak merasakan kram atau nyeri apapun. Hingga keesokan harinya saya mencoba untuk sedikit jongkok untuk mencuci beberapa pakaian.

Saya jongkok tidak lama. Mungkin hanya lima menit dan saya pun merasa baik-baik saja. Tapi siang harinya, ketika saya berjalan sedikit ke ruang makan, saya merasakan darah mengalir deras seperti datang bulan. Panik, saya berlari kecil kembali ke kamar untuk berbaring. Saya tidak lagi berani bergerak banyak, hanya sedikit miring ke kanan dan ke kiri untuk memindah posisi saat badan dirasa pegal.

Sore hari, ketika bunda pulang dari kerja, saya mengajak beliau untuk menemani saya ke rumah sakit. Jujur, saya sangat khawatir dengan kondisi kehamilan saya saat itu. Saat saya bersiap akan ke rumah sakit dan berdiri, sontak, pendarahan hebat kembali terjadi sampai-sampai darah banyak sekali mengaliri lantai. Saya semakin panik dan bingung harus bagaimana untuk menghentikan pendarahan itu. Bunda dengan sigap membantu saya segera bersiap dan membersihkan semua kekacauan itu, lalu segera berangkat ke rumah sakit.

Sepanjang jalan saya berusaha menahan air mata dan menekan rasa khawatir saya. Bunda pun berusaha tetap tenang dan menghibur saya. Alhamdulillah, tidak ada kemacetan yang berarti sepanjang perjalanan ke rumah sakit sehingga saya pun bisa segera mendaftar untuk diperiksa oleh dokter. Alhamdulillah juga suami bisa segera menyusul dan menemani saya untuk periksa. Keberadaan beliau sangat berarti untuk saya saat itu.

Ketika diperiksa, diketahui bahwa pendarahan memang terjadi akibat pendarahan subkorionik yang telah ada sejak awal kehamilan. Dari pemeriksaan USG itu pula terlihat bahwa kantung kehamilan saya pun telah 'jatuh', namun janin terdeteksi masih sehat dan detak jantungnya pun normal. Maka, saya diminta untuk bedrest total demi menjaga agar kantung kehamilan tidak semakin jatuh dan janin selamat.Sejak saat itu saya juga diberi obat penguat kandungan yang saya konsumsi hingga beberapa bulan kehamilan saya.

Sejak insiden pendarahan hebat itu, saya menghabiskan hari-hari saya dengan hanya berbaring di tempat tidur, meminimalisir pergerakan dan menjaga agar perut saya tetap rileks. Setidaknya selama sebulan saya full bedrest dan setelahnya pun saya tidak terlalu banyak bergerak dan mengurangi aktivitas jauh daripada biasanya. Flek, pendarahan, kram perut, semuanya seperti menjadi 'makanan sehari-hari' meski jika hal itu terjadi menjadi alarm bahwa saya harus segera tidur dan beristirahat. Jangankan jalan terlalu lama, tidur kelewat malam pun bisa membuat keesokan paginya timbul pendarahan ringan. Lama-kelamaan saya menjadi mulai terbiasa dengan hal tersebut dan tidak terlalu mengkhawatirkan flek yang terjadi. Lagipula dari kontrol rutin bulanan pun sudah tidak lagi terlihat adanya pendarahan subkorionik. Saya pun bisa bernapas sedikit lebih lega.

Hari-hari terasa sangat panjang. Setiap harinya saya hitung karena bertambah sehari kehamilan saya dan berkurang sehari pula waktu yang harus saya tunggu untuk bertemu dengan baby. Saya pikir, semakin tua kehamilan saya maka semakin besar pula kemungkinan bahwa kehamilan saya selamat hingga akhirnya saya melahirkan si baby. Seringkali saya merasa helpless, merasa sangat merepotkan banyak orang, pesimis dan takut tidak bisa menjaga kehamilan saya, terlebih di akhir trimester kedua dokter mendiagnosa air ketuban saya kurang dan ukuran bayi masih lebih kecil dibanding usia kandungan saya. Jari-jari pun langsung tertunjuk ke saya sebagai ibunya. Apakah porsi makan saya kurang? Minum kurang? Apakah saya tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi bayi dalam kandungan saya?

Begitu banyak pikiran buruk yang muncul di kepala saya. Di sinilah dukungan suami terasa sangat penting dan berharga. Selalu terngiang di telinga saya, ketika semua pikiran buruk melanda, kata-kata suami saya, "istriku kuat, adek juga bayi yang kuat. Semua akan baik-baik aja, kok. Tenang, ya.."

-- BERSAMBUNG --

Comments