Catatan Kuliah - Kebutuhan vs Keinginan

Tulisan ini sebenarnya ingin saya tulis beberapa hari lalu, tetapi karena sesuatu dan lain hal keinginan saya tersebut belum terlaksana. Hingga celetukan teman tadi malam di tengah obrolan menjelang tidur mengingatkan saya untuk segera menulis sebelum cerita ini mengendap hingga ke dasar terdalam otak saya dan tidak muncul lagi (baca: lupa).

Lagi-lagi tema kali ini catatan kuliah, tapi bukan tentang materi kuliah. Tampaknya saya mulai terbiasa mencatat saat kuliah [walaupun yang dicatat bukan materi kuliah]. Suatu kemajuan yang berarti sepertinya.

Saat itu, Bu Dosen membicarakan sesuatu, saya lupa materi kuliah saat itu apa, yang jelas sedikit senggol-menyenggol dengan kebutuhan, satu kata yang terkadang masih menjadi misteri bagi saya hingga saat ini. Dan benar saja, saat itu Bu Dosen bilang, "Kebutuhan zaman sekarang, kan, bisa diciptakan, diada-adakan." Jleb! Rasanya kalimat itu langsung merasuk ke dalam jiwa raga dan sanubari saya. #halah

Singkatnya, perkataan Bu Dosen saat itu menurut saya 100% benar. Kebutuhan, dalam ekonomi Islam (jurusan saya kuliah), adalah terbatas, sedangkan fasilitas yang ada tidak terbatas. Bertolak belakang dengan itu, kebutuhan dalam ekonomi konvensional dikatakan tidak terbatas dengan fasilitas yang terbatas. Kalau saya melihat teori, memang benar bahwa SEHARUSNYA kebutuhan kita terbatas dan fasilitas yang ada tidak terbatas. Kita manusia, yang kita butuhkan paling-paling sandang, pangan, papan, di tengah semua sumber daya alam yang tidak terbatas yang disediakan oleh Tuhan Yang Maha Kaya.

Namun, dalam kenyataannya, kebutuhan itu diikuti oleh keinginan. Misalnya, untuk makan. Kita butuh makan dan ingin makan A-Z yang kalau misalnya perut muat dan duit ada, mau dimakan semua. Artinya, Kebutuhan dan keinginan berjalan beriringan dan pada akhirnya keinginan 'menjelma' menjadi kebutuhan yang hukumnya tidak terbatas di tengah fasilitas (uang dan sumber daya lain) yang menjadi terbatas dibanding ketamakan kita.

Dari uraian di atas, saya menarik kesimpulan bahwa jika ingin sukses berbisnis, buatlah konsumen mengubah keinginan menjadi kebutuhan. Dengan mindset 'kebutuhan', konsumen akan rela membayar berapa pun untuk memperolehnya. Lalu muncul celetukan dari teman saya, "Kepuasan itu tidak bisa diukur dengan uang, Ci. Kalo ada uang, pasti mau bela-belain bayar berapa aja demi suatu kepuasan." 

Nah lho, ucapan itu sepertinya menjadi tagline wajib bagi pemasar manapun untuk mengubah pemikiran konsumen dari keinginan menjadi kebutuhan. Supaya apapun produk barang atau jasa di pasar, penting tidak penting, seolah-olah menjadi kebutuhan konsumen, sesuatu yang urgent dan bermanfaat. Dan kalaupun tidak bermanfaat secara riil, bermanfaat secara batin.

Akhirnya saya lebih percaya lagi, bahwa kebutuhan saat ini diciptakan oleh manusia itu sendiri. Mungkin dari kita sendiri, jika ingin menjadi manusia yang tidak mubazir, harus bisa benar-benar memilah mana yang benar-benar penting dan mana yang tidak. Mungkin tulisan ini merupakan koreksi untuk diri saya sendiri supaya bisa lebih hati-hati memilih mana yang keinginan semata dan mana yang kebutuhan. Karena di sekitar kita, jangankan memenuhi keinginan, memenuhi kebutuhannya saja masih banyak yang belum mampu. #berat

Comments