Marginal Utility in Reality

Wahh, saya capeek deh minggu-minggu terakhir ini setiap hari selalu rutinitas dan kesibukan yang sama: bangun pagi, ke kampus, entah nongkrong di departemen, atau mondar-mandir ke sana-kemari, pulang sore bablas ngerjain 'orderan', sampai malam terus ngerjain tugas-tugas lain terus teler tidur. Setiap hari dengan rutinitas yang hampir sama, cukup melelahkan walaupun rasanya cukup puas tidak melewatkan hari dengan mlongo 'merenungi' masa depan. Hehehe...

Hari ini juga baru bisa selesai semua jam 10-an tadi, dan masih banyak hal yang menunggu untuk diselesaikan besok. Ahh, tetep semangat deh, jalani aja yang di depan mata.. Bismillah..

Tadi setelah menyelesaikan beberapa 'sesuatu' bersama beberapa teman, kami beristirahat dan ngobrol-ngobrol santai. Dan akhirnya membahas uang. Akhir bulan begini seperti anak perantauan pada umumnya, kami mulai mengencangkan ikat kepala, supaya semangat menahan nafsu beli ini-itu. Tentang begitu banyaknya barang yang notabene nggak terlalu penting yang mahal-mahal dan tetap saja diserbu pembeli. Tentang gaya hidup konsumtif yang digandrungi begitu banyak orang. Membayangkan, kalau punya uang banyak, yaa seperti itu yaa..

Sampai akhirnya teman saya menggeledah barang-barang di kamar saya dan menemukan setumpuk barang nggak penting. Saya bilang, 'itu muraaah banget, ambil aja satu-satu'. Karena itu barang memang nggak penting dan murah, saya paksa mereka untuk ambil, mengurangi tumpukan juga. Hehehe..

Saya akui, dulu saya sempat ada di periode konsumtif, dimana saya suka beli ini-itu yang mungkin menurut orang lain nggak penting banget dan hanya buang-buang uang saja. Namun sekarang saya sadar (atau ada di titik jenuh?) untuk tidak lagi membeli barang-barang yang tidak perlu. 

Seseorang, pasti ingin selalu meningkatkan tingkat kepuasannya. Ketika Anda mencoba membeli satu barang dan Anda merasa puas, selanjutnya Anda akan membeli dua barang, lalu tiga dan begitu seterusnya, hingga Anda bosan dan berhenti. Seperti saya, dulu suka-sukanya beli-beli suatu jenis barang, saya seriiiiing sekali beli, hingga bertumpuk-tumpuk dan akhirnya saya bosan dan merasa nggak penting lagi. Itulah muncul hukum 'The Law of Diminishing Utility'

Saya bayangkan, seseorang yang kaya raya, dia pasti mudah saja beli ini-itu sesuka hati. Akhirnya, dia merasa apapun yang menurut kita mahal, bagi dia tidak bernilai. Mungkin karena dia sudah bosan? Tidak ada lagi kepuasan yang dia dapatkan dari membeli barang-barang, tidak seperti ketika dulu dia masih menjadi orang biasa saja. Sebanyak apapun dia membeli barang, tidak akan muncul rasa puas, yang akhirnya dia akan terus mencoba membeli segala macam, mencoba memuaskan dirinya. Inilah awalnya, dia menjadi orang mubazir, bermewah-mewah, yang tidak dibolehkan oleh Tuhan. Mengapa hidup seperti itu dilarang? Menurut saya, selain menimbulkan kesenjangan sosial, juga karena hidup seperti itu menghapus rasa syukur di hati mereka. Bagaimana mereka bisa bersyukur kalau mereka terus tidak merasa terpuaskan?

Naudzubillahimindzalik..

Comments