Bukan satu tapak yang kujalani. Selama ini ternyata aku hanya diam. Bahkan lebih buruk dari diam. Maju selangkah lalu mundur dua langkah. Ah, seperti permainan masa kecil. Padahal yang kuhidupi bukan permainan, tapi kenyataan. Atau selama ini aku melihat hidup ini hanya permainan?
'Hei, bangunlah', kata otak. 'Lihat di depanmu, hidup terus berjalan. Hidup harus berjalan atau kau mati hingga diam. Mereka menolak keberadaanmu, itukah alasanmu untuk sembunyi? Atau mereka mendiamkanmu lalu kau berlari? Apapun yang kau lakukan tidaklah berarti, tapi cukup untuk memberimu alasan untuk hidup. Untuk terus berjuang dan membuktikan bahwa kau ada!' Ah, seperti
kata Dewa 19, hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti. Dan jika kau berhenti, itu berarti kau mati.
Tapi apa esensinya jika aku mulai? Hanya akan selesai satu kemudian yang lain akan mulai lagi. Dan kembali lagi dari awal. Terus begitu hingga aku bosan. Ah, ini semua hanya gurauan. Toh apa yang aku dapat? Mungkin akan ada penolakan kedua, ketiga, dan seterusnya. Itu akan lebih menyakitkan. Mungkin diam lebih baik daripada aku maju dan kesakitan.
'Aku tahu kau ingin maju. Jauh di hatimu kau ingin melangkah, bukannya diam di sini, terperangkap. Cobalah, cari jawaban, bukan hanya diam dan mengira-ngira,' otak memberi alasan dan sedikit angin segar dalam pengapnya kepalaku.
Aku mulai goyah. Sedikit melihat secercah cahaya yang sudah menyala sejak lama. Namun cahaya itu begitu terang. Diriku yang begitu gelap, begitu kotor lama meringkuk di sini, terlalu silau melihatnya. Aku menutup mata. Aku tidak ingin terbakar melihat silaunya. Aku lebih tidak ingin cahaya itu meredup tertutupi gelapku.
'Sudahlah, jangan mencari alasan. Aku tahu kau telah mendapat jawaban, kau hanya tidak mau mengakuinya. Jadi, kau hanya akan terus sembunyi di sini? Dasar kau pengecut sombong! Selalu mencari-cari alasan untukmu tetap tenggelam,' otak mulai mencemooh kesal.
Aku terkesiap. Aku memang mencari-cari alasan. Karena tidak ada cahaya yang tertutupi gelap. Selamanya cahaya menerangi. Dan aku kembali bersembunyi di sudut, ketakutan menyadari kenyataan. Cahaya tidak bisa meraihku. Dia hanya sempat menyinari sedikit diriku, lalu kemudian hilang. Dan aku tenggelam.
'Hei, bangunlah', kata otak. 'Lihat di depanmu, hidup terus berjalan. Hidup harus berjalan atau kau mati hingga diam. Mereka menolak keberadaanmu, itukah alasanmu untuk sembunyi? Atau mereka mendiamkanmu lalu kau berlari? Apapun yang kau lakukan tidaklah berarti, tapi cukup untuk memberimu alasan untuk hidup. Untuk terus berjuang dan membuktikan bahwa kau ada!' Ah, seperti
kata Dewa 19, hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti. Dan jika kau berhenti, itu berarti kau mati.
Tapi apa esensinya jika aku mulai? Hanya akan selesai satu kemudian yang lain akan mulai lagi. Dan kembali lagi dari awal. Terus begitu hingga aku bosan. Ah, ini semua hanya gurauan. Toh apa yang aku dapat? Mungkin akan ada penolakan kedua, ketiga, dan seterusnya. Itu akan lebih menyakitkan. Mungkin diam lebih baik daripada aku maju dan kesakitan.
'Aku tahu kau ingin maju. Jauh di hatimu kau ingin melangkah, bukannya diam di sini, terperangkap. Cobalah, cari jawaban, bukan hanya diam dan mengira-ngira,' otak memberi alasan dan sedikit angin segar dalam pengapnya kepalaku.
Aku mulai goyah. Sedikit melihat secercah cahaya yang sudah menyala sejak lama. Namun cahaya itu begitu terang. Diriku yang begitu gelap, begitu kotor lama meringkuk di sini, terlalu silau melihatnya. Aku menutup mata. Aku tidak ingin terbakar melihat silaunya. Aku lebih tidak ingin cahaya itu meredup tertutupi gelapku.
'Sudahlah, jangan mencari alasan. Aku tahu kau telah mendapat jawaban, kau hanya tidak mau mengakuinya. Jadi, kau hanya akan terus sembunyi di sini? Dasar kau pengecut sombong! Selalu mencari-cari alasan untukmu tetap tenggelam,' otak mulai mencemooh kesal.
Aku terkesiap. Aku memang mencari-cari alasan. Karena tidak ada cahaya yang tertutupi gelap. Selamanya cahaya menerangi. Dan aku kembali bersembunyi di sudut, ketakutan menyadari kenyataan. Cahaya tidak bisa meraihku. Dia hanya sempat menyinari sedikit diriku, lalu kemudian hilang. Dan aku tenggelam.
Comments
Post a Comment