Mimpi. Bertahun-tahun berlalu sejak terakhir dia memejamkan mata dengan mimpi yang sama. Harapan yang tidak mungkin, yang membuatnya kehilangan arah. Kemana? Bagaimana? Mengapa? Dia bahkan tidak tahu siapa dia tanpa mimpi.
Muak! Dia muak bermimpi. Mimpi buruk, mimpi indah, ah semua sama. Pada akhirnya pun dia harus bangun. Bangun menuju kenyataan yang dia tidak tahu bagaimana ada kenyataan tanpa adanya mimpi. Ah, lagi-lagi dia mengigau. Sudah jelas kenyataan dan mimpi itu berbeda, mengapa dia tidak berpikir? Benar-benar dia ingin tidur tanpa mimpi, bangun tanpa angan-angan.
Lepas, bebas, bagai angin. Pernah dia rasakan itu. Hingga dia melayang terlalu tinggi, terlalu sombong merasa mampu mengalahkan sang mimpi. Tanpa berpikir lagi, dia berteriak lantang, menantang mimpi untuk datang. Merasa kuat dan bisa tetap tidur dengan nyenyak seindah atau seburuk apapun mimpi itu. Ya, dia menjadi sombong.
Hingga suatu saat mimpi itu benar-benar datang. Entah buruk atau indah, dia sendiri tidak tahu. Atau tidak peduli? Apapun itu, ternyata mimpi itu tetap membuatnya tersentak. Tersadar, dia tidak sekuat itu. Seperti anak kehilangan induknya, dia kebingungan.
Dia telah berubah. Berbeda. Tidak sama. Begitu pula mimpinya sudah tidak lagi sama. Waktu benar mengubah banyak hal. Bahkan di luar perkiraannya, dia selalu terbangun dengan kebingungan. Ternyata dia hanya sedikit mengingat mimpi yang dulu selalu menghantuinya. Ataukah mimpinya sendiri yang memang telah berubah?
Mimpinya telah menjadi semakin indah. Telalu indah. Dia tidak ingin terbangun, terus ingin bermimpi. Melenakan. Menakutkan.
Sungguh dia takut terbangun dan sadar bahwa ternyata semua hanya bunga tidur. Sungguh dia ingin mimpinya menjadi nyata. Sungguh dia ingin mengikatkan dirinya pada mimpi. Mustahil. Hanya putri tidur yang bisa tidur selamanya. Itupun karena kutukan.
Apakah mimpi itu kutukan? Jika pun iya, dia mencintai kutukan itu.
Kembali dia terjebak seperti bertahun lalu. Bedanya, sekarang dia tidak bangun. Tidak mau bangun.
Comments
Post a Comment