Tradisi Riba di Bulan Ramadhan yang Mulia

Riba yang tak terasa


Riba mungkin sudah bukan lagi merupakan kata yang asing di telinga kita. Bunga bank, bunga pinjaman, bunga cicilan, semuanya sudah kita kenal sebagai bentuk-bentuk riba. Tapi, tahukah kamu bahwa ada riba yang tak terasa, bahkan menjamur di Bulan Ramadhan yang mulia?

Kalau kamu sudah termasuk generasi yang bekerja, pasti kamu sudah tidak asing dengan tradisi memberi angpau untuk para keponakan, anak-anak kecil dan handai taulan di kampung yang terlihat ‘layak’ mendapat angpau. Tidak jarang, banyak anak-anak yang sengaja datang ke rumah-rumah setelah sholat ied untuk minta ‘jatah’nya masing-masing. Untuk itu, kita selalu siap sedia dengan uang dengan nominal kecil sebagai salah satu persiapan lebaran. Untuk mendapatkannya pun ada beberapa cara, bisa dengan menukar uang di bank atau menukar uang ke orang-orang tertentu yang memang membuka jasa penukaran uang dadakan.

Mungkin tidak ada yang salah jika kita melakukan penukaran uang di bank, karena biasanya uang yang kita serahkan ke bank dengan uang yang kita terima saat penukaran nilainya sama. Misalnya, kita menukar selembar uang Rp 100.000,00 dengan 100 lembar uang Rp 1000,00. Penukaran pun dilakukan tunai, karena kita harus datang langsung ke bank untuk melakukan penukaran uang. Lalu, bagaimana jika penukaran uang dilakukan dengan para ‘oknum’ dadakan?

Sering kita lihat para oknum ini, yang sering disebut sebagai inang-inang, yang menawarkan jasanya di pinggir-pinggir jalan besar, menyodorkan uang dengan nominal kecil untuk ditukar dengan uang yang nominalnya lebih besar. Bahkan, di zaman yang serba canggih seperti sekarang, jasa-jasa seperti ini bisa kita temukan juga melalui platform online. Kita tinggal mentransfer uang, kemudian uang dengan pecahan kecil akan dikirim melalui jasa pengiriman atau kurir online. Bagaimana hukum transaksi seperti ini?

Dalam ekonomi Islam, terdapat istilah barang ribawi, yaitu emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma dan garam. Keenam barang ribawi ini disebutkan dalam hadits dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda, maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai,” (HR. Muslim 4147).

Dalam riwayat lainnya, dari Abu Said al Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148).
Dari keenam barang ribawi di atas, maka ulama sepakat bahwa ada dua kelompok barang ribawi, yaitu:
  1. Emas dan perak – diqiyaskan dengan kelompok ini adalah mata uang dan segala bentuk alat tukar, seperti mata uang Rupiah yang berlaku sebagai alat tukar di negara kita.
  2. Gandum halus, gandum kasar, kurma dan garam – diqiyaskan dengan kelompok ini adalah semua bentuk bahan makanan yang bisa disimpan, seperti beras, jagung, singkong, dan lain-lain.

Berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas, ternyata ada aturan dalam tukar-menukar dua kelompok barang ribawi, yaitu sebagai berikut:
  • Pertama, jika tukar-menukar dilakukan dengan barang yang sejenis, maka terdapat syarat wajib yang harus dipenuhi, yaitu jumlahnya harus sama dan dilakukan secara tunai. Misalnya, penukaran uang sebesar Rp 100.000,00 harus ditukar dengan uang yang nilainya juga sebesar Rp 100.000,00 serta penukaran harus dilakukan saat itu juga dan tidak ada jeda waktu antara penyerahan dan penerimaan uang. Jika terdapat kelebihan nilai dari penukaran uang, maka kelebihan nilai tersebut termasuk riba.
  • Kedua, jika tukar-menukar dilakukan dengan barang yang berbeda jenis, namun masih satu kelompok, maka penukaran harus dilakukan secara tunai. Misalnya, penukaran rupiah dengan dolar, nilainya bisa berbeda namun harus dilakukan tunai tanpa ada jeda waktu penyerahan dan penerimaan uang.
  • Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan dengan barang yang berbeda kelompok, maka tidak terdapat ketentuan tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya, menukar uang dengan beras. Nilainya bisa dilakukan sesuai kesepakatan harga yang berlaku, dan penyerahan bisa terhutang, selama kedua pihak sama-sama ridha dengan kesepakatannya.

Dari penjelasan di atas, kita bisa mengetahu jawaban atas pertanyaan sebelumnya, tentang bagaimana hukum tukar uang kecil, baik untuk lebaran maupun acara lainnya? Jawabannya, penukaran uang kecil jika ada perbedaan nilai antara uang yang diserahkan dengan yang diterima, maka hukumnya adalah haram karena termasuk riba. Fenomena ini banyak sekali terjadi, terutama jika penukaran uang dilakukan di inang-inang, bukan di lembaga keuangan resmi seperti bank. Terlebih, jika penukaran uang dilakukan melalui online, selain nilai nominalnya yang berbeda, terdapat jeda waktu antara penyerahan uang dengan uang yang kita terima. Sudah sangat terlihat kalau ini adalah riba, bukan?
Tapi, bukankah kelebihan nominal itu adalah biaya jasa tukar uang dari inang-inang? Kan, inang-inangnya sudah bantu mengantrikan untuk tukar uang?
Berhati-hatilah, karena alasan seperti itu bisa menjadi ‘pembenaran’ atas tindakan yang diharamkan. Kita perlu memahami bahwa biaya jasa atau upah adalah penghitungan yang diukur dari volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar. Namun, yang terjadi dalam tukar-menukar uang ini bukan seperti itu. Kita tidak memperkerjakan orang untuk tukar uang di bank, melainkan hanyalah transaksi penukaran uang dengan uang. Inang-inang akan mengambil keuntungan setiap penukaran dengan nominal tertentu. Misalnya, setiap penukaran uang Rp 100.000,00 maka akan ada keuntungan sebesar Rp 10.000,00 sehingga pihak penukar harus membayar ke inang-inang sebesar Rp 110.000,00. Jika ingin menukar Rp 200.000,00 maka pihak penukar harus membayar Rp 220.000,00 dan begitu seterusnya.
Nah, jadi sebaiknya kita mulai berhati-hati ya dengan transaksi yang tampaknya umum terjadi di masyarakat, tapi ternyata mengandung dosa besar di baliknya. Bahkan, riba ini termasuk dosa besar yang ditantang perang oleh Allah, seperti dalam surat Al Baqarah ayat 279, “Jika kalian tidak meninggalkan riba, maka umumkan untuk berperang dengan Allah dan Rasul-Nya.”
Jadi, apa kamu berani berperang melawan Allah dan Rasul-Nya?

Comments