Collision (A Short Story)

Hari itu hari biasa. Tidak terlalu biasa, memang, karena Bia dan teman-temannya akan mengunjungi 
Pesta Rakyat di Kota yang diadakan setahun sekali. Ini kali pertama Bia mengunjungi Pesta Rakyat sehingga dia merasa antusias sekali mempersiapkan barang-barang yang perlu dibawanya, terlebih lagi dia dan teman-temannya berencana untuk berkemah di Padang Rumput dan kembali pulang ke Desa keesokan harinya.

'Apa lagi ya, yang perlu kubawa? Makanan, pakaian, kantong tidur, kaus kaki cadangan...' Bia memeras otak, mencoba mengingat-ingat barang apa yang sekiranya terlupa olehnya. Kemudian terdengar ketukan di pintu kayu rumahnya. 'Hmm, Sol? Dia sudah datang?'  Bia segera menghambur ke pintu rumahnya, untuk melihat siapa yang datang.

"Bi, sudah siap? Kau tidak perlu membawa makanan banyak-banyak. Di Kota nanti pasti banyak penjual makanan lezat! Bawa saja uang yang cukup, tapi simpan di tempat terpisah. Kita tidak tahu kapan nasib buruk akan menghampiri," Sol segera mencerocos panjang lebar dan menghambur masuk rumah Bia begitu pintu terbuka.

Bia tidak menjawab celotehan Sol, karena memang Sol berbicara tidak meminta jawaban. Bia hanya cepat-cepat mengemasi barang bawaannya dan mengangkatnya ke bahunya. "Oke, Sol, aku siap. Ayo kita berangkat. Ini aku bawa sup daging untuk makan siang di jalan. Kau yang bawakan ya, berat sekali karena porsinya cukup untuk kita semua." Sol menerima panci susun kecil berisi sup daging untuk makan siang dan menyampirkannya di bahunya yang lain.

Bia dan Sol kemudian berjalan menuju stasiun kereta. Mereka berjanji berkumpul dengan teman-temannya yang lain di sana. Bia dan Sol bertetangga, karena itu mereka berdua sering pergi bersama-sama. Saling menguntungkan. Bia sering membawa makanan lebih, Sol sering membantu membawakan.

Setelah sepuluh menit berjalan kaki, mereka akhirnya sampai di stasiun kereta. "Sol, kau lihat teman-teman tidak? Aku lupa tidak membawa kacamataku, nih," ujar Bia. Sol memandang berkeliling dan menunjuk ke suatu arah. Bia berjalan mengikuti Sol.

"Bia, Sol, kalian terlambat, seperti biasa. Untung keretanya belum datang," sergah Kyrie.

Bia hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Kyrie. Dia dan Sol memang sering datang paling akhir tiap berkumpul dengan teman-temannya. Selain karena mereka memang terlalu santai untuk berangkat, seringkali ada barang Bia yang tertinggal sehingga harus kembali lagi ke rumah.

"Ah, paling-paling kau juga baru datang kan, Ky?" Sol bertanya balik.

"Iya, Sol, Kyrie  baru datang juga, paling hanya selisih dua menit dari kedatangan kalian," kata Norah. Luppi dan Sam mengangguk setuju.

Tidak lama kemudian kereta api datang. Bia dan teman-temannya segera bergegas mencari tempat duduk ternyaman untuk perjalanan ke Kota dua jam selanjutnya. Mereka memilih kompartemen di  gerbong paling depan. Perjalanan dimulai, makan siang sup daging dibuka dan dimakan bersama-sama. Supnya masih hangat dan lezat sekali dimakan di tengah perjalanan seperti itu. Dua jam kemudian mereka sampai di stasiun Kota dan turun untuk melanjutkan perjalanan ke Padang Rumput dengan menyewa sebuah kereta kuda.

Sesampainya di Padang Rumput, segera mereka membangun tenda dan mengatur barang-barang mereka supaya menyisakan tempat mereka tidur. Dari kejauhan, mereka melihat kesibukan orang-orang di sekitar yang juga  akan berkemah di Padang Rumput malam itu, juga lalu-lalang kereta kuda dan sepeda yang sibuk membawa perlengkapan dan barang-barang untuk Pesta Rakyat yang dimulai petang nanti. 

Bia dan teman-temannya bercakap-cakap merencanakan apa saja yang ingin mereka lakukan di Pesta Rakyat. Bia ingin bermain Tembak Jitu dan berencana mendapat banyak hadiah dari permainan Pukul Air. Sol ingin mencicipi domba panggang yang konon katanya merupakan makanan terlezat di Kota. Luppi dan Kyrie ingin menonton pesta tarian di pusat Pesta Rakyat. Norah ingin membeli banyak kembang api dan ikut bermain di Festival Kembang Api saat tengah malam. Sedangkan Sam mau saja mengikuti teman-temannya kemana-mana, melihat-lihat apa yang nanti terlihat menarik.

Tidak terasa langit matahari semakin condong ke barat. Bia dan teman-temannya segera bersiap-siap dan berjalan santai ke ujung lain Padang Rumput, dimana Pesta Rakyat dilakukan. Begitu banyak orang dari berbagai Desa yang berbondong-bondong untuk melihat Pesta Rakyat. Bia dan teman-temannya terkagum-kagum melihat begitu banyaknya permainan dan toko di sana. Mereka bermain, makan, dan berkeliling hingga malam, kemudian mereka berkumpul di Festifal Kembang Api.

Baru kali itu Bia dan teman-temannya melihat kembang api yang begitu menakjubkan. Kembang api yang bisa membentuk berbagai formasi indah di langit malam Kota. Bia melihat kembang api yang berbentuk naga, unicorn, bahkan bunga. Semua orang terkagum-kagum melihat Festival Kembang Api yang merupakan acara penutup Pesta Rakyat. Hingga kembang api terakhir melesat ke langit malam, semua orang masih terkesima terbius indahnya kumpulan cahaya itu.

Akhirnya Pesta Rakyat selesai. Bia dan teman-temannya, bersama begitu banyak pengunjung lainnya, berbondong-bondong berjalan untuk keluar dari area Pesta Rakyat. Toko-toko dan arena permainan juga mulai berkemas membereskan sisa-sisa barang mereka. Sampai tiba-tiba semua orang tersentak mendengar suara ledakan dari suatu tempat, seperti ada sesuatu yang meledak menghantam tanah. Semua terdiam, untuk mendengar lebih jauh apa yang terjadi. Beberapa detik kemudian ledakan lain menyusul. Bia memandang ke langit. Terkejut, dia menunjuk sesuatu seperti batu raksasa sedang melintasi langit di atasnya. Norah dan Luppi menjerit, Sam terpana mengikuti arah jatuh batu raksasa itu, begitu juga Sam dan Kyrie yang hanya membelalakkan matanya. Sol segera menarik tangan Bia untuk berlari ke arah manapun yang kosong, yang bisa mereka pakai untuk berlari bebas keluar dari area Pesta Rakyat. Norah, Luppi, Sam dan Kyrie berlari mengikuti.

"Kita harus segera keluar dari area ini! Jika di sini terus, kita seperti tikus yang terjebak, menunggu dihantam oleh batu-batu itu! Ayo, lari lebih cepat!" teriak Sol. Bia dan yang lain panik mengikuti arah Sol berlari. Tanpa henti mereka membagi pandangan ke atas dan ke depan, antara berjaga-jaga ada batu yang jatuh ke arah mereka dan mencari rute jalan keluar yang bercabang-cabang.

"Sol! ada batu yang menuju arah depanmu!" teriak Sam. Mereka berbalik arah ke kanan, menghindari batu yang menuju arah depan.

"Kanan! Awas Norah, kananmu!!" teriak Kyrie histeris sambil menarik Norah menjauh dari sebelah kanannya. Batu-batu terus berjatuhan. Kyrie, Norah, dan Luppi terpisah dari Bia, Sol, dan Sam akibat batu-batu yang terus berjatuhan di sekitar mereka. Jeritan-jeritan panik terdengar dari segala penjuru.

"Kita tidak bisa bersama-sama! Nanti kita bertemu di Padang Rumput! Jaga diri kalian! Ky, jaga mereka!" teriak Sol dari balik kepulan asap benturan batu. Kyrie dan lainnya mendengarkan, dan berlari kembali mencari jalan keluar yang lain.

"Sol, bagaimana ini? Sam, kau ada ide?" tanya Bia ketakutan. Di depan mereka hanya ada satu jalan ke arah kiri. Jadi, mereka tidak mempunyai pilihan lain selain berlari mengikuti jalan itu. 

"Sam, perhatikan langit di atas, jika ada batu ke arah kita, kita harus segera berlindung di bawah meja-meja atau apapun yang bisa dijadikan tempat berlindung,"  kata Sol. Sam mengangguk. Selanjutnya mereka terus maju, bergantian antara merayap di bawah meja menghindari serbuan batu-batu dan berlari sebisa mungkin saat tidak terlihat ada batu ke arah mereka. Sepertinya hanya mereka yang ada di jalan itu, mungkin karena batu besar yang jatuh menutup jalan dan memisahkan rombongan mereka dengan Norah dan lainnya.

"Sol, Sam, aku rasa semakin lama batu-batu yang jatuh semakin kecil, intensitasnya pun semakin jarang. Mungkin ini akan segera berakhir," ujar Bia, sambil berlari mengikuti Sol dan Sam. Sol dan Sam memandang ke atas, mereka setuju dengan Bia. Mereka pun mulai memelankan laju lari mereka. Mereka lelah. Jalan-jalan keluar tertutup batu raksasa, sehingga mereka harus mencari jalan keluar lain yang mungkin tidak tertutup.

"Menurut kalian, tadi itu apa? Meteor? Batu luar angkasa?" tanya Bia.

"Mungkin ada meteor jatuh dan itu tadi serpihan-serpihannya," jawab Sam. Sol hanya mengedikkan bahunya.

Tiba-tiba ada satu batu kecil yang jatuh ke arah mereka. Cukup mengagetkan, karena mereka sudah tidak terlalu waspada. Batu itu memantul di tanah dan tanpa sempat menghindar, batu itu mengenai tangan Bia.

"Aduh, panas!" kata Bia kaget. "Untung saja batunya kecil, tidak terlalu sakit." Bia melihat tangannya, tempat  batu tadi mengenainya. Dia melihat serangga kecil, mirip lalat berwarna merah-jingga, menempel kuat di tangannya. "Hiii, apa ini?" Bia jijik, mengibas-ngibaskan tangannya di udara, berharap serangga itu terlepas dari tangannya.

Sam dan Sol mendekat, ingin melihat ada sebenarnya di tangan Bia.

"Lalat?" tanya Sol begitu melihat serangga, yang tidak terlepas sekuat apapun Bia mengibas-ngibaskan tangannya. Sol meraih serangga itu dan melepaskannya dari tangan Bia. "Dia seperti menancap di tanganmu, Bi. Tapi kau tidak merasakan apa-apa, kan?" Bia menggeleng.

Akhirnya Sol, Sam, dan Bia memutuskan untuk berjalan lagi. Bia melihat ke arah atas, batu-batu kecil melesat ke arah mereka. 

"Hati-hati, Sam, Sol!" teriak Bia. Sam dan Sol mundur, menghindari batu-batu kecil itu. Anehnya, batu itu memantul lagi begitu menyentuh tanah, seperti batu yang mengenai Bia tadi. Sol tidak berhasil menghindari batu, batu itu mengenai sikunya. Yang mengejutkan, di bagian batu tadi menyentuh Sol, ada serangga serupa, seperti yang tadi menancap di tangan Bia. 

"Ini aneh. Batu tidak akan memantul setinggi itu jika mengenai tanah," kata Sam. Sol mengernyitkan dahinya, berpikir, sementara dia melepaskan serangga aneh itu dari sikunya.

Hari sudah pagi. Langit pelan-pelan menjadi terang, seiring matahari terbit. Sol, Sam, dan Bia mulai mendengar suara-suara orang di kejauhan. Tampaknya mereka sudah menemukan jalan yang tidak terisolir. Mungkin jalan keluar. Mereka bertiga berjalan cepat, tidak sabar keluar dari area Pesta Rakyat yang kacau balau.

"Norah, Luppi, dan Kyrie.. Bagaimana keadaan mereka? Ayo cepat, kita kembali ke kemah kita..." kata Bia, kelelahan.

Begitu mereka masuk di keramaian, mereka tersadar. Semua orang ini berbeda. Tidak seperti orang-orang Desa yang mengunjungi Pesta Rakyat semalam. Orang-orang ini memakai pakaian putih bersih, terusan dari bahu hingga mata kaki. Bia tidak bisa membedakan mana laki-laki dan mana perempuan. Ini aneh. Sol, Sam dan Bia menghentikan langkah mereka, memandang berkeliling. Mencari-cari, seandainya ada Norah, Kyrie dan Luppi di antara mereka, atau orang Desa lain yang mungkin mereka kenali wajahnya.

Namun tiba-tiba saja, dalam satu detik, semua orang berpakaian putih menoleh ke arah mereka. Mata mereka yang hitam kelam terpusat pada Bia dan Sol. Sam yang melihatnya, mulai merasa ketakutan, mundur.

"Ini dia dua yang tersisa, akhirnya menampakkan diri," kata salah seorang dalam kerumunan itu, menyeringai menghampiri Bia dan Sol.

"Kau siapa?" tanya Sol, sedikit agresif.

"Kami Manusia Putih, utusan dari Langit. Menawarkan kerja sama pada Bumi untuk bergabung dalam koalisi angkasa. Kalian salah satu, ehm, salah dua wakil Bumi, harus ikut dengan kami untuk berunding," jawabnya.

"Kenapa kami? Kami tidak mau ikut! Lagipula kami tahu kalian bohong. Mana ada utusan Langit. Manusia Putih? Omong kosong.." jawab Bia berani.

Kemudian Manusia Putih itu mencengkeram lengan Bia. Semua menjadi gelap, Suara-suara menghilang. Bia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Bia juga tidak tahu apa yang terjadi kemudian pada Sol dan Sam, juga teman-temannya yang lain.

Comments