[REVIEW] Spoiler Alert! ~ Rindu - Tere Liye (Part IV)

Disclaimer: terdapat edit di sana-sini untuk keperluan penulisan post supaya lebih 'nyambung'. Untuk pengalaman membaca yang lebih lengkap, beli bukunya yah^^

Tidak ada yang lebih pahit bagi anak muda, selain cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi lebih pahit lagi jika saling mencintai tanpa restu orang tua.

Itulah yang dialami Ambo Uleng, salah satu tokoh sentral di novel Rindu.

"'Perjodohan ini dilakukan oleh ayahnya dengan teman dekatnya di masa kecil. Sudah disetujui oleh orang tua kami sejak putriku masih kecil. Putriku akan dijodohkan dengan pemuda yang lebih pantas. Lebih berilmu, lebih berpendidikan, lebih terpandang derajatnya. Pemuda itu murid seseorang yang sangat penting di Gowa. Kami akan malu jika membatalkan perjodohan itu, Nak.' Ibunya sambil menangis, memohon kepadaku agar melepaskan anaknya. Jangan sakit hati. Memintaku mengikhlaskannya."

"[...] Aku kalah. Aku berlari sejauh mungkin dari kota kelahiran kami. Lari dari seluruh kisah cintaku [...]"

Ambo Uleng masih menatap meja di hadapannya.

"[...] Seluruh ceritamu adalah pertanyaan itu sendiri. Apakah itu cinta sejati? Apakah kau besok lusa akan berjodoh dengan gadis itu? Apakah kau masih memiliki kesempatan?"

[...]

"Apakah cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. [...] Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya? [...]"

"Lepaskanlah, Ambo. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. [...] Kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi [...]"

"Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis tergugu karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. [...]"


Very nice explanation. Buat aku, kamu, kita yang pernah atau sedang patah hati. Dan dengan manis, Gurutta menutup malam itu dengan bersenandung,

"Wahai laut yang temaram, apalah arti memiliki? Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.

Wahai laut yang lengang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan.

Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?

Wahai laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja."
Dan saat kamu melupakan.
Saat itu pula kamu merindukan.
Karena bukan melupakan, melainkan melepaskan..


Regards,


Comments