Taman Heatburn ramai sekali pagi
ini. Walaupun audisi belum dibuka, sudah banyak orang yang hendak mengantri
untuk ikut audisi. Aku melihat jam tangan, untuk mengecek berapa lama lagi
audisi akan dibuka.
‘Hmm, masih 2 jam lagi baru
audisi akan dimulai. Berdandan tidak akan memakan waktu selama itu. Berganti
baju di mobil yang sepertinya akan sedikit sulit, tapi tidak akan memakan waktu
terlalu lama juga. Ah, tapi bagaimana aku bisa menyela dalam kerumunan itu?
Sungguh, aku benci mengantri apalagi cuaca hari ini panas sekali,’ aku
menggerutu dalam hati.
Aku pindah ke kursi belakang yang
memang sudah kumodifikasi untuk menjadi studio pribadiku dan memulai dengan
mengganti bajuku. Beruntung kaca mobilku gelap sehingga tidak terlihat dari
luar. Aku memulai ritual berdandanku. Pertama aku memakai alas bedak kemudian
menumpuknya dengan bedak tabur. Aku mulai merias mata dan bibirku senada dengan
warna pakaianku. Dari kaca besar yang terpasang di jendela mobil belakang,
kulihat ini adalah hasil dandanan tersempurna selama hidupku. Hari ini aku
memakai gaun berbahan ringan berwarna hijau tua yang akan menonjolkan rambut
ikal kemerahanku. Riasan wajahku kubuat senatural mungkin supaya tidak terlihat
berlebihan di siang hari yang sangat panas ini. Tak lupa kuambil sepatu highheels kesayanganku yang berwarna
hitam.
‘Sempurna. Hari ini adalah hari yang sangat penting. Hari yang akan
menentukan debutku sebagai seorang artis,’ pikirku gembira. Aku pun keluar
dari mobil untuk bergabung dengan kerumunan peserta audisi.
‘Ah, mereka semua terlihat biasa saja. Aku tidak menemukan hambatan
sedikit pun untuk bisa lolos audisi,’ pikirku yakin. Aku berjalan dengan
penuh percaya diri untuk menempatkan diriku lebih dekat dengan meja registrasi.
Aku melihat jam, 15 menit lagi registrasi akan dibuka. Dengan tidak sabar aku
memandang berkeliling. Lalu seketika pandanganku terfokus di satu titik, seorang
laki-laki berbaju hitam dengan kalung rantai melingkar di lehernya. Entah
mengapa ada suatu tarikan kasat mata yang cukup kuat membuatku ingin sekali
berjalan menghampirinya. Tepat ketika aku hendak melangkahkan kakiku ke
arahnya, petugas registrasi berjalan melewatiku. Segera aku urungkan niatku dan
bergegas mendekat meja registrasi bersama ratusan peserta audisi lainnya.
Dalam beberapa detik saja, aku
sudah tertinggal di belakang karena peserta audisi lainnya sungguh sangat
brutal. ‘Malas banget kalo harus
berdesakan dengan mereka. Bisa-bisa semua penampilanku kusut.’ Aku membiarkan mereka semua mengantri
mendahuluiku, tapi aku mempunyai cara lain untuk bisa mendaftar tanpa
mengantri. Senyum lebar mengembang di bibirku.
Aku berjalan mantap ke arah meja
registrasi, melewati antrian panjang. Aku merasakan semua mata orang-orang di
antrian memandang ke arahku, bahkan beberapa melotot curiga. Aku tetap cuek,
meneruskan langkahku. Begitu aku sampai di depan meja registrasi, dimana
terdapat petugas registrasi wanita sedang melayani pendaftaran seorang gadis
mungil dengan dandanan heboh, aku mengulurkan kartu identitasku ke arah wanita
petugas.
“Kau harus mengantri dulu, Nona,”
kata petugas itu tegas. Orang-orang di antrian berhenti berbicara, menonton
percakapanku dengan petugas wanita itu.
“Saya tidak punya banyak waktu
untuk mengantri dan kau akan bersedia mendahulukanku untuk mendaftar,” ucapku
yakin dengan suaraku yang menenangkan. Aku menatap mata pegawai itu dalam-dalam
dan aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya.
“Baiklah, ini nomor audisi Anda,
Nona. Semoga berhasil,” kata petugas itu dengan suara yang sedikit bergetar.
Pandangannya masih kosong dan untuk terakhir kali aku menatap matanya lagi,
berbisik, “Kau akan lupa semua ini, Nona, jangan khawatir.” Kemudian aku
melayangkan pandanganku ke orang-orang di antrian, “dan begitu juga dengan
kalian semua, Kawan.”
Lalu aku berjalan masuk tempat
audisi dengan langkah riang, tidak menyadari ada sepasang mata yang mengamatiku
dengan seksama. Hari ini sungguh sempurna.
Comments
Post a Comment