Kriiiiiiiingg........ Suara alarm
berbunyi nyaring mengganggu tidurku.
‘Ah, pagi sudah datang dan aku harus berangkat ke sekolah. Malas sekali.
Mengapa harus ada hari Senin? Mengapa harus ada sekolah? Pada akhirnya pun aku
tidak akan membutuhkan semua nilai itu setelah lulus. Bukankah untuk menjadi
seorang model tidak memerlukan nilai ujian matematika, bahasa inggris, sains,
dan semua pelajaran tolol itu? Ah, tapi bagaimanapun aku tetap terjebak dalam
semua ketidakperluan itu dan harus mendapat nilai bagus supaya ayah dan ibu mau
memberi uang saku,’ pikirku sambil menggeliat malas di tempat tidurku yang
hangat.
“Luna! Ayo cepat bangun! Kau akan
terlambat!” suara ibu yang nyaring menembus pintu kamarku. Dengan terpaksa, aku bangkit dari
tempat tidur yang nyaman dan keluar kamar untuk ikut sarapan bersama. Aku
melihat ibu sedang di dapur menyiapkan sarapan untuk kami. Senandung lirih
sedikit terdengar dari mulutnya, tapi aku tidak tahu dia menyanyikan lagu apa.
Aku hanya bisa melihat bibirnya yang mungil berkomat-kamit dan mengeluarkan
nada. Kadang aku heran, bagaimana bisa mulut kecil seperti itu menghasilkan
suara nyaring yang bahkan dari kamarku saja terdengar sangat nyaring. Padahal
kamarku ada di lantai dua.
Sambil terheran-heran (yang
hampir selalu kurasakan setiap pagi) aku duduk di kursi meja makan. Tidak lama
kemudian ayah muncul dari balik pintu teras, menyusul ke meja makan. Di
tangannya terlihat dia sedang memegang koran pagi.
“Anak laki-laki pengantar koran
itu lagi-lagi melemparkan korannya tepat ke wajahku! Apa dia tidak melihat aku
yang sebesar ini sedang menyiram bunga di halaman? Sungguh menyebalkan! Lain
kali akan kukejar dia untuk kuberi pelajaran!” kata ayahku bersungut-sungut.
Ibu hanya menanggapi kejengkelan ayah dengan senyum manisnya. Tidak lama
kemudian, wajah ayah kembali tenang, seakan tidak pernah ada kejengkelan
sebelumnya.
Yah, ayahku memang sedikit
emosional. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya marah-marah, atau sedikitnya
menggerutu. Tapi jika ada ibu bersamanya, ayah bisa lebih tenang. Aku juga
tidak mengerti mengapa bisa begitu. Aku pikir siapapun akan merasa tenang jika
berada di dekat ibu. Siapa yang sanggup marah-marah di depan tatapan ibu yang
lembut dan senyumnya yang indah? Kurasa tidak ada yang akan sanggup.
Aku segera menghabiskan omelet
lezat yang menjadi menu sarapan kami hari ini dan segelas susu cokelat
kesukaanku. Kulihat ayah juga sedang asyik melahap omeletnya sambil membaca koran
di tangan kirinya. Ibu masih bersenandung kecil sambil membereskan meja dapur.
Sepertinya pagi ini semua orang sedang dalam suasana hati yang bagus.
Aku beranjak untuk mandi dan
bersiap-siap berangkat ke sekolah. Hari ini aku akan mengikuti casting film dan orangtuaku tidak tahu
tentang semua ini. Pakaian dan sepatu ganti serta alat berdandanku sudah aku
masukkan diam-diam ke mobil semalam. Jadi yang kubutuhkan saat ini hanya
menyiapkan alasan untuk pulang terlambat hari ini dan memasang wajah tenang.
Sebelum turun untuk (pura-pura)
berangkat sekolah, aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan jantungku
yang berdegup kencang karena hendak berbohong kepada ayah dan ibu yang pada
dasarnya hampir mustahil dibohongi, kecuali ketika suasana hati mereka sedang
sangat bagus sekali. Kuhitung sampai sepuluh, setelah itu aku berjalan menuruni
tangga.
“Ayah, Ibu....,” kataku pelan.
Mereka berdua menoleh kepadaku.
“Oh, Luna, kau mau berangkat
sekolah sekarang? Sepulang sekolah nanti cepatlah pulang, aku ingin kita makan
malam bersama,” kata ayahku sambil kembali mengalihkan pandangannya ke koran
pagi yang belum juga selesai dibacanya.
“Eh, Ayah, aku.. Kurasa kalian
terpaksa makan malam berdua saja. Aku ada janji dengan seseorang..” jawabku
lirih, khawatir mereka curiga. Seketika pandangan ayah kembali padaku dengan
sorot mata curiga. Sedangkan ibu mulai menyipitkan matanya kepadaku, tatapannya
menyelidik.
“Aku.. Aku ada janji kencan,
Ayah. Dia mengajakku makan malam,” tambahku cepat-cepat. Kurasa alasan kencan
akan masuk akal untuk degupan jantung sekeras ini. Dan kurasa aku benar begitu
melihat tatapan ibu kembali melembut dan tidak curiga lagi.
“Baiklah, Sayang, tapi tentu saja
kau jangan pulang terlalu malam. Kami akan menikmati makan malam kami berdua.
Kau juga harus bersenang-senang. Oke?” jawab ibu gembira.
“Eh, baik, Bu. Kalau begitu aku
berangkat sekolah sekarang. Daaaa, Ayah,” kataku sambil berlari cepat-cepat ke
garasi sebelum ayah yang sepertinya masih curiga mempengaruhi ibu yang sudah
percaya.
‘Beginilah kalau berbohong ketika sebenarnya tidak perlu berbohong,’ pikirku
sambil mendesah pelan dan menyalakan mesin mobil sport merahku. Aku pun berangkat ke Taman Heatburn, lokasi casting perdanaku.
Comments
Post a Comment